Nasionalisme Itu Jangan Merasa Benar Sendiri!
Oleh: A.R. Bahry Al Farizi (Kader IMM FAI UAD)
Nasionalisme seringkali digunakan sebagai narasi untuk menghantam sesama. Misalnya, di Papua. Atas nama nasionalisme, orang-orang Papua dibunuh secara brutal. Memang, kita tidak bisa menafikan bahwa persoalan kemanusiaan di Papua cukup kompleks.
Maksudnya, terdapat fakta bahwa terjadi pertempuran militer yang melibatkan dua pihak yang saling dirugikan. Oleh karenanya, tulisan ini tidak ditujukan untuk mengurai masalah Papua secara komprehensif. Namun, tulisan ini menyoroti motivasi nasionalisme di baliknya. Sebab, mengatasnamakan nasionalisme untuk membunuh seseorang merupakan perbuatan biadab.
Selama ini, melalui pendidikan, kita dicekoki oleh macam-macam slogan. Kita disuruh untuk menghafal Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Sayangnya, seperti kata Buya Syafi'i, sebagai bangsa kita cukup bermasalah perihal konsistensi antara kata dan perbuatan.
Terlalu Banyak Slogan; Kosong Aksi
Slogan macam “saya pancasila” dan beragam slogan lainnya sebenarnya hanyalah omong kosong. Buktinya, kita dengan mudah menghakimi sesama yang tidak sepaham dengan kita. Kita dengan mudah memberikan stempel sesat kepada kelompok yang bukan bagian dari kita.
Organisasi Ahmadiyah, Syiah, dan berbagai macam paham lainnya dianggap sesat hanya karena memahami agama secara berbeda dari mayoritas. Dan masih banyak “kita-kita” yang lain. Karena itu, sebagai bangsa, nasionalisme yang kita pahami sangatlah rapuh dalam implementasi.
Dalam konteks ini, kita terhasut oleh teori benturan peradaban ala Samuel Huntington. Ada peradaban Islam, peradaban Kristen, peradaban Hindu, dan peradaban lainnya. Masalahnya, apakah suatu peradaban hanya bisa direduksi atau disatukan semata berdasarkan agama yang dianut oleh pihak yang berkuasa secara mayoritas?
Begitu pula kemajemukan internal peradaban pun perlu dilihat secara seksama. Misalnya, tentu saja terdapat perbedaan antara peradaban Islam di Arab dan peradaban Islam di Asia. Artinya, di dalam peradaban pun, terdapat kemajemukan.
Berbagai orang dengan latar belakang berbeda berkumpul. Namun, berkat ilusi bahwa satu-satunya identitas yang kita miliki hanyalah agama, itu sama saja artinya dengan menafikan berbagai identitas majemuk yang ada dalam diri kita. Kita dengan mudahnya menafikan identitas orang lain yang kita anggap berbeda dengan kita, padahal toh pada ujungnya kita sama juga sebagai manusia.
Kita Bukan Orang Paling Mulia
Masalahnya di sini. Kita meyakini bahwa identitas kita dibentuk, bukan terbentuk. Identitas yang kita miliki seakan-akan datang dari langit, seakan-akan sebagai sesuatu yang terberi. Padahal itu adalah ilusi alias omong-kosong.
Identitas seorang manusia terbentuk sepanjang hidupnya. Artinya, ada proses dalam pembentukan identitas seorang manusia. Kita bukan Islam sejak lahir, tetapi diislamkan oleh lingkungan, sebab kita lahir dari orang tua yang Islam.
Selanjutnya, kita akan mempertahankan identitas tersebut seperti harga mati. Padahal, dalam kehidupan, kita pun dipertemukan dengan berbagai macam dinamika kehidupan yang membuat kita mengalami perpindahan identitas.
Misalnya, terdapat kejadian menarik akhir-akhir ini, yaitu seorang pejabat dari partai yang katanya Islam terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Ini menunjukkan bahwa seorang Muslim bisa saja sekaligus menjadi seorang koruptor, hanya karena dia menjalankan Salat berjamaah di Masjid, rajin bersedekah, tetapi ketahuan oleh KPK mengambil uang negara lalu menyewa biduan untuk menghibur dirinya. Itulah yang menjelaskan bahwa identitas berupa simbol tidak selalu mencerminkan seperti apa sejatinya diri seseorang.
Untuk mengakui hal ini, diperlukan pemahaman bahwa di dalam diri setiap manusia terdapat banyak identitas. Hal ini berlaku pula dalam bernegara. Kita memang terlahir sebagai orang Indonesia. Namun, itu bukan alasan untuk membatasi rasa kasih sayang kita kepada semua manusia tanpa memandang ia dari agama atau kebangsaan yang berbeda.
Maksudnya, identitas keindonesiaan yang melekat dalam diri kita sepatutnya tidak menghalangi kita untuk berbuat baik entah ke orang Ateis sekalipun. Karena yang berhak membatasi Rahmat itu hanyalah Allah, manusia hanya diperintahkan untuk berikhtiar berbuat baik.
Kita perlu menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang terdapat dalam diri masing-masing. Sifat tersebut berupa mentalitas berkelompok, suka merundung, suka membenci orang lain, dan semua sifat binatang lainnya. Termasuk sifat selalu merasa benar sendiri. Sifat-sifat tersebut harus dengan berani kita sembelih.
Nasionalisme Kritis
Untuk merefleksikan nasionalisme, kita perlu menundukkan pandangan kita terhadap orang lain. Kita perlu membuka hati dan pikiran agar menerima perbedaan, terlepas apakah pandangan orang tersebut berbeda dengan kita. Percuma apabila setiap tahun kita memperingati nasionalisme tetapi masih merasa benar sendiri.
Terdapat satu argumen cukup kuat untuk menopang pendapat di atas. Misalnya, ketika kita berbicara mengenai peradaban Islam. Peradaban Islam yang selama ini kita pahami bersifat otentik, atau dengan kata lain peradaban yang asli yang tidak tercampur dengan peradaban lain. Sehingga peradaban Barat di luar Islam kita anggap tidak semulia Islam.
Lantas, kalau kita menganggap bahwa peradaban Islam atau identitas kita sebagai orang Islam lebih mulia daripada orang di luar Islam, lalu apa yang membedakan kita dengan sosok Hitler yang meyakini bahwa Ras Arya-lah yang paling mulia? Atau dengan Zionisme yang meyakini bahwa merekalah orang pilihan Tuhan yang sangat mulia?
Berdasarkan analisis sejarah secara mendalam, pembentukan kejayaan peradaban Islam merupakan hasil pengaruh dari peradaban lain. Semua peradaban di dunia terbentuk berdasarkan hasil tukar kebudayaan antara satu dengan yang lain. Sejarah membuktikan bahwa para cendekiawan Muslim pada masa Abbasiyah tidak pernah alergi untuk menerjemahkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari Yunani. Mereka tetap kritis terhadap nilai-nilai maupun pemikiran Yunani, tetapi mereka tidak pernah menganggap bahwa peradaban merekalah yang lebih tinggi atau mulia dari peradaban lain.
Jadi, kita tidak punya alasan untuk mengagungkan peradaban Islam secara berlebihan karena pada akhirnya peradaban kita juga merupakan hasil pengembangan dari peradaban lain. Perasaan rendah hati seperti ini membuat hidup kita lebih nyaman dan harmonis bersama orang lain.
Sebagai kesimpulan, untuk merayakan nasionalisme, kita perlu membuka pikiran secara kritis. Apa yang selama ini kita yakini sebagai paham nasionalisme adalah paham nasionalisme yang chauvinistik atau nasionalisme yang merasa benar sendiri. Sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa, kita tidak punya kuasa untuk membatasi Rahmat Allah Yang Maha Luas. Selamat merayakan nasionalisme secara kritis!
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow