Menu
Close
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Fakultas Agama Islam UAD

Kembali Menafakkuri Gusdur

Kembali Menafakkuri Gusdur

Smallest Font
Largest Font

Oleh: A.R. Bahry Al Farizi (Kader 18 IMM FAI UAD)

K.H. Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebagai penulis yang produktif, ikut banyak terlibat dalam mengomentari fenomena terorisme yang terjadi di zamannya, sebutlah peristiwa bom bali salah satunya. Gusdur mencoba untuk menarik benang merah yang menghubungkan terorisme dengan kekerasan, yang di mana bentuk dari terorisme adalah kekerasan.

Kasus terorisme bom bali tampak seperti kasus terorisme pada umumnya. Namun, tidak bagi Gusdur. Sebab, motivasi di balik terorisme bom bali adalah motivasi keagamaan. Informasi ini tentunya membuat kening kita mencerut

Dalam salah satunya esainya yang berjudul “Islam, Gandhi, dan Kekerasan”, Gusdur menguraikan pemikiran Mahatma Gandhi, seorang pejuang anti-kekerasan dari India, tentang kekerasan dan hubungannya dengan Islam yang inklusif-substansialis. Bagi Gusdur, Islam sama sekali tidak mengekang dan sempit, tetapi selalu memerintahkan umatnya untuk berfikir sesuai dengan zaman. Ajaran Islam yang luwes, selalu dapat menjadi solusi problematika zaman yang terus berubah, sehingga mampu sejalan dengan arah perkembangan manusia.

Tulisan gusdur yang mendeskripsikan kesesuaian ajaran Ahimsa (perlawanan tanpa kekerasan) seorang Gandhi dan Islam untuk menentang kekerasan merupakan salah satu hasil pemikiran Gusdur yang merepresentasikan inklusifitas seorang pemikir handal yang menjadikan ajaran Islam yang substansialis sebagai ruh pemikirannya.

Islam dan Kekerasan

Terorisme dan kekerasan sangat marak digembor-gemborkan oleh beberapa kelompok Islam transnasional/puritan dalam beberapa bentuk pola gerakan yang bermacam-macam. Bahkan, apabila kita perhatikan dengan seksama, kelompok-kelompok tersebut telah menyesuaikan pola gerakannya dengan zaman modern agar bisa menjalankan kepentingan mereka di Indonesia.

Modernisasi pola gerakan terorisme dalam artian mereka tidak langsung “bekerja” sebagaimana kasus kasus terdahulu, semisal meledakkan dirinya di tengah tengah gereja atau tempat tempat umum. Saat ini, mereka bergerak sebagaimana organisasi Islam moderat (NU dan muhammadiyah), yaitu melalui pendekatan dakwah-sosial, pendidikan, bahkan sampai tataran politik praktis. Indoktrinasi dilakukan untuk merekrut para anggotanya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda yang katanya dari Tuhan. Tidak menutup kemungkinan juga, ada yang bersifat lebih ekstrem dan meledakkan dirinya di tengah tengah keramaian karena meyakini perbuatan itu adalah jihad dan diganjar pahala yang tak terhitung dari Allah.

Menurut Gusdur, akar terorisme-kekerasan berasal dari pemahaman yang dangkal terhadap teks keagamaan (nash). Bisa dibuktikan, kasus terorisme dan kekerasan yang mereka lakukan selalu dibungkus dengan nama “Islam”. Artinya, kita tidak bisa menolak fakta bahwa motivasi terorisme seringkali melibatkan faktor agama. Tentunya dalam arti agama yang disalahpahami.

Kaum radikalis-fundamentalis seringkali menggunakan ayat-ayat maupun hadis untuk membenarkan tindakan mereka. Tentu ini menimbulkan kontradiksi terhadap Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena sangat gamblang dan jelas, Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan kecuali umat Islam dalam keadaan tertentu, seperti diusir dari tempat tinggal/dijajah.

Islam mewajibkan untuk menyebarkan pesan-pesan kedamaian terhadap manusia. Kesalahan fatal kaum radikalis-fundamentalis adalah menafsirkan dan memahami nash secara tektualis semata, tanpa memperhatikan konteks yang ada. Padahal dalam tradisi metodologi penafsiran teks keagamaan atau biasa disebut dengan ilmu tafsir dan ilmu takwil, nash tidak boleh dipisahkan dari konteks yang ada karena bisa menimbulkan kesalahpahaman. Salah satu doktrin populer kelompok Islam radikalis-fundamentalis ialah menganggap Islam adalah ajaran yang formalistik dalam artian harus diperjuangkan untuk menjadi ideologi negara, karena ber-Islam harus secara kaffah (paripurna). Walaupun kaffah yang dimaksud dalam ajaran Islam sebenarnya tidak serta-merta mengharuskan seseorang untuk tidak mentaati atau bahkan sampai mengubah ideologi negara.

Pemahaman Dangkal

Kaum radikalis-fundamentalis banyak merekrut orang orang awam yang memiliki pemahaman keagamaan yang dangkal. Menurut Gusdur, kebanyakan dari mereka adalah pemuda-pemuda yang ahli dalam teknisi sehingga tidak punya cukup waktu untuk belajar Islam. Terbatasnya waktu untuk mempelajari Islam, membuat mereka mencari alternatif praktis dengan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah secara tekstualis. Itulah akibat dari fenomena yang saat ini sering kita temui, yaitu sangat bersemangat untuk mempraktikkan tanpa mengimbangi dengan belajar. Banyak waktu ceramah, sedikit waktu untuk belajar dan merenung.

Kesalahpahaman akan teks, ditambah faktor-faktor eksternal yang cukup berpengaruh, misalnya kondisi ekonomi yang kurang baik, akan menambah kepercayaan diri mereka untuk melakukan tindakan terorisme-kekerasan yang dibungkus oleh ajaran keagamaan.

Apabila dicermati sekali lagi, tindakan terorisme mempunyai benang merah dengan para pejuang negara Islam. Di antara keduanya memiliki kesamaan yang sangat banyak, salah satunya menganggap apa pun selain Islam adalah kafir dan harus dimusnahkan. Semua yang bertentangan dengan Islam secara lahiriah, harus diperangi sampai mati. Lagipula, tidak jelas batasan antara “yang Islami” dan “yang non-Islami”.

Mereka terjebak dalam Islam yang formalistis, tetapi sadar tidak sadar, budaya yang mereka ambil juga berasal dari budaya Barat. Tidak semua yg mereka pakai adalah produk produk Islam. Di sini, tidak jelas pula yang dimaksud dengan budaya Islam itu yang seperti apa?

Kalau olahraga seperti memanah, berkuda, dan berenang dianggap sebagai budaya Islam karena tercantum dalam Hadis secara tekstual, lantas orang yang paling mewakili sunnah atau budaya Islam itu justru orang-orang Romawi dan Persia yang telah mewajibkan memanah, berkuda, dan berenang di kamp-kamp militer yang telah mereka lakukan jauh sebelum diutusnya Rasulullah SAW.

Di situlah letak ajaran Islam yang luwes, selama nilai nilai Islam masih terkandung di dalamnya, tak perlu untuk menolaknya mati matian. Rasulullah pun telah mencontohkan kepada kita, bahwa selama tradisi tersebut sesuai dengan ajaran Islam, baik itu berasal dari kita atau tidak, kita tidak perlu semerta-merta menerima atau menolak hanya karena ia tampak berbahasa Arab atau dibuat oleh orang Islam. Penjelasan ini sangat tepat apabila kita membaca kembali sejarah perang khandaq yang di mana Rasulullah menerima saran dari seorang sahabat, Salman Al-Farisi, untuk mengadopsi strategi atau budaya perang orang persia yang membuat parit untuk menghalangi akses musuh ke dalam jantung pertahanan Madinah. Keputusan tersebut pula dilakukan dalam proses musyawarah yang demokratis sekaligus egaliter. Sebab, Salman Al-Farisi bukanlah orang Arab, melainkan orang persia.

Sekali lagi, perlu menjadi catatan, Gusdur seringkali mengatakan bahwa ia tidak pernah menemukan teks keagamaan yang mewajibkan seorang Muslim untuk memperjuangkan bentuk negara Islam. Karena memang Islam tidak punya bentuk kenegaraan Islam adalah agama dinamis yang sesuai dengan zaman. Justru, pemahaman yang formalistik terhadap Islam, yang mengakibatkan Islam itu sempit dan terkesan otoriter alias membunuh kesadaran manusia yang manusiawi.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    1
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Artikel Terkait