PENDIDIKAN YANG MEMANUSIAKAN
Oleh: Saukina Salsabila Putri (kader 23 IMM FAI UAD)
Ki Hajar Dewantara merupakan salah satu pahlawan Indoensia, ia diberi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara mendefenisikan pendidikan sebagai sebuah upaya untuk memajukan bertumbuhnya pendidikan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran, serta tubuh anak. Selaras dengan yang dikemukakan oleh Ki Hajar, UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 juga memberikan pengertian yang sejalan.
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU Sisdiknas No 20 tahun 2003).
Berangkat dari pengertian di atas, pendidikan menjadi sebuah hal yang penting dalam mewujudkan sebuah bangsa yang maju. Hal tersebut dikarenakan pendidikan menjadi dasar utama dalam mencapai sumber daya manusia yang unggul. Lebih dari pada itu, pendidikan memang sudah semestinya diwujudkan dengan sebenar-benarnya terwujud, selain sebagai sebuah keharusan, ini menjadi perintah dari UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Satu hal yang penting untuk dipahami adalah dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mencapai tujuannya tidak boleh menegasikan nilai-nilai kemanusiaan. Kemanusiaan harus menjadi prioritas utama pada proses pendidikan yang berlangsung. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Tan Malaka, tokoh pergerakan kebangkitan nasional yang menyebutkan bahwa tujuan dari pendidikan itu sendiri ialah memperluas wawasan, menambah pengetahuan, dan memperhalus perasaan.
Realitas pendidikan kita di tengah arus modernitas yang masif ditandai dengan perkembangan teknologi dan informasi semakin terbuka, pendidikan memiliki peran yang cukup krusial. Pasalnya dengan realitas demikian, sedikit banyak akan berdampak pada perilaku manusia. Penulis menyadari bahwa ada dampak-dampak positif yang dihadirkan oleh modernitas.
Pada konteks itu, penulis secara sadar memberikan apresiasi dengan mengoptimalkan hal tersebut ke hal-hal yang sifatnya positif. Namun demikan, penulis juga secara sadar bahwa modernitas perlu diinterupsi, ini dikarenakan modernitas mendatangkan sebuah persoalan baru yang membuat manusia menjadi tidak manusiawi atau yang dikenal dengan dehumanisasi.
Dehumanisasi adalah bahaya laten yang harus segera mungkin untuk disikapi. Adanya perilaku demikian justru tidak membuat pendidikan semakin maju, justru dapat menghambat pendidikan dalam mencapai tujuannya. Jika ditelusuri secara jujur, perilaku dehumanisasi telah menyebabkan wajah pendidikan Indonensia menjadi bopeng (burik, cacat) dan koreng (belang, bernanah). Pasalnya, pendidikan yang seharusnya menjadi tempat paling manusiawi dicoreng oleh perilaku-perilaku yang mencederai hakikat dari pendidikan yaitu memanusiakan mansuai.
Dalam realitas empiris pendidikan Indonesia, perilaku dehumanisasi dapat dilihat dari maraknya kekerasan yang terjadi pada dunia pendidikan kita, baik secara verbal maupun secara fisik. Beberapa bulan belakangan, Indoneisa dihebohkan dengan peristiwa pembacokan guru di Demak, Jawa Tengah, pada tanggal 23 September 2023. Motif dari pembacokan tersebut ialah karena siswa dilarang mengikuti UTS (Ujian Tengah Semester). Belum lagi kasus kekerasan guru kepada murid yang kian marak terjadi, korupsi dana pendidikan oleh oknum pemangku kebijakan, dan lain sebagainya.
Selain itu, peristiwa memilukan lainnya terjadi di Banyuwangi, seorang siswa SD yang bunuh diri akibat depresi karena sering mengalami perundungan (Bulying) di sekolah. Lebih jauh, pendidikan Indonesia juga digemparkan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Pesantren di Bandung yang dilakukan oleh Heryy Wirawan, tercatat 13 orang santri yang menjadi korban.
Berdasarkan data yang diperoleh Forum Serikat Guru Indoneisa (FSGI), sejak lima bulan belakangan pada tahun 2023, telah 22 kali terjadi kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban 202 siswa. Para pelaku terdiri dari guru sebanyak 31, 80%, pemilik dan atau pemimpin pondok pesantren sebanyak 18,20%, kepala sekolah sebanyak 13, 63%, guru ngaji sebanyak 13, 63%, pengasuh asrama/pondok sebanyak 4, 5%, kepala madrasah 4, 5%, penjaga sekolah 4, 5%, dan lainnya 9%.
Selain itu, biaya pendidikan yang mahal, akses pendidikan yang tidak merata, pungutan liar, dan lainnya, menjadi gambaran sejumlah masalah yang dihadapi oleh pendidikan Indonesia. Pada kondisi inilah pendidikan harus dievaluasi secara serius dan jujur sekurang-kurangnya meminimalisir perilaku dehumanisasi dalam dunia pendidikan kita.
Pendidikan yang memanusiakan dapat dipahami sebagai pendidikan yang mendorong manusia untuk menjadi manusia, dalam arti mengembangkan potensi diri untuk menghidupkan perikemanusiaan, cara berinteraksi dengan manusia lainnya, dan menjadi manusia yang sebenar-benarnya. Dalam pengertian lain, pendidikan yang memanusiakan berorientasi pada kemanusiaan mansuia.
Sebetulnya ada banyak versi teori yang menjabarkan terkait pendidikan yang memanusiakan, namun penulis hanya menerangkan empat hal yang penulis anggap cukup mendasar, pertama, menciptakan lingkungan pendidikan yang ramah dan aman. Hal tersebut penting untuk dilakukan agar menciptakan rasa nyaman dan aman saat proses pembelajaran berlangsung, sehingga dengan demikian, pendidikan akan jauh lebih efektif dalam mencapai tujuannya. Kedua, demokratis, yang dimaksud oleh penulis ialah sikap saling menghargai, terbuka, dan toleran. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipatif terhadap perilaku diskriminasi maupun sikap-sikap yang merugikan satu dengan yang lainnya tanpa ada tenggang rasa. Puncaknya ialah lingkungan pendidikan menjadi lebih harmoni dan manusiawi.
Ketiga, Kesetaraan. Lingkungan pendidikan harus menjadi institusi yang menyadarkan masyarakat. Disamping itu, kesadaran akan kesetaraan oleh peserta didik maupun pendidik dapat menghilangkan kepongahan individu antar sesama. Sehingga tidak ada yang merasa paling pintar kemudian menuduh yang lainnya bodoh, padahal sama-sama sedang berproses untuk menjadi manusia.
Keempat, menghidupkan empati. Empati menjadi hal yang paling mendasar dalam proses memanusiakan manusia. Oleh karena itu, empati harus dihidupkan dalam proses pendidikan yang berlangsung. Selanjutnya, empati akan melahirkan sikap tolong menolong, tenggang rasa, dan lain sebagainya, antara satu dengan yang lainnya.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow