Menu
Close
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Fakultas Agama Islam UAD

Gerakan Pembebasan Perempuan dan Perjuangan Kesetaraan Gender

Gerakan Pembebasan Perempuan dan Perjuangan Kesetaraan Gender

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Selvia Wita Affanda (Kader 23 IMM FAI UAD)

“Strata kedua dalam masyarakat” merupakan salah satu stigma khalayak umum yang sangat mendiskriminasi kedudukan perempuan. Perempuan selalu dianggap lebih lemah dari laki-laki dan perempuan tidak akan bisa menjadi kuat seperti laki-laki. Anggapan seperti ini tidak terlepas dari budaya patriarki yang sudah menjamur dimasyarakat. Stigma masyarakat mengenai perempuan menjadikan salah satu jebakan dan tantangan berat untuk mereka mencapai apa yang dicita-citakannya.

Mengapa penulis mengatakan stigma ini menjadi jebakan? Karena stigma inilah banyak perempuan yang menjadikannya alasan untuk tidak memperjuangkan haknya. Stigma lain yang sangat popular dimasyarakat diantaranya:

Pertama, istilah “sumur-dapur-kasur”adalah label masyarakat kepada perempuan yang dimana memiliki makna bahwa perempuan hanya memiliki posisi dalam area domestik saja. Sehingga muncul anggapan dalam masyarakat bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi, akhirnya pasti juga kembali ke dapur, anggapan itu masyhur di masyarakat. Stigma tersebut bermakna bahwa perempuan tidak berhak mendapatkan pendidikan tinggi, padahal hak mendapatkan pendidikan merupakan hak seluruh manusia bahkan perempuan sangat berhak untuk mendaptkan ilmu, karena perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Kedua, stigma “pemimpin itu seharusnya laki-laki”. Dari stigma ini membuat banyak perempuan merasa bahwa ia tidak pantas untuk menjadi seorang pemimpin. Kebanyakan persepsi Masyarakat tentang perempuan tidak memiliki pribadi yang kuat unuk memimpin, dan hanya laki-lakilah yang memang sudah memiliki pribadi kuat, dan ia pantas untuk menjadi  seorang pemimpin. Padahal, ketika kita menengok kembali sejarah bahwa ‘Aisyah ra. menjadi pemimpin pada perang Jamal, dan pasukannya pun para laki-laki. Dari sini, dapat kita lihat bahwa tidak ada batasan perempuan untuk memimpin. Karena pada dasarnya hak memimpin juga bisa dimiliki semua orang, baik laki-laki maupun perempuan dalam tanda kutip “mampu” melaksankan seluruh kewajiban seorang pemimpin.

Selain dari stigma masyarakat tersebut, ada juga peraturan syari’at Islam yang kebanyakan masyarakat salah dalam memahami dan menjadikan hal tersebut mengurangi hak-hak perempuan. Salah satu contoh adalah tentang suara wanita adalah aurat. Dari anggapan ini, ada beberapa golongan orang yang mengartikan bahwa perempuan dilarang untuk berbicara didepan umum. Pandangan seperti ini menyebabkan para perempuan tidak menyuarakan pendapatnya, tidak dapat menunjukkan talenta seperti tilawah dan lain sebagainya. Padahal arti dari syari’at suara perempua adalah aurat adalah ketika suara tersebut mengandung unsur menggoda, seperti suara yang dibuat-buat untuk menggoda lawan jenis, dan menimbulkan syahwat.

Sebagai seorang Muslimah yang berparadigma perempuan berkemajuan kita jangan sampai terbodohkan dengan pandangan syari’at yang pemahamannya bisa merenggut hak yang seharusnya didapatkan. Untuk memahami syari’at dibutuhkan pemahaman yang terbuka, dalam mengambil dasar hukum dari sumber yang tepat. Seperti ketika mengambil dasar hadis, oleh karena itu, penting untuk meneliti kualitas hadis tersebut, serta penting juga untuk memahami tafsiran Al-Qur’an dan Hadis sesuai perkembangan zaman.

Dari uraian diatas membuat para perempuan terhambat untuk mencapai apa yang di cita-citakannya. Ketika perempuan-perempuan tidak memperjuangkan hak-hak yang seharusnya bisa ia dapatkan, menyebabkan perempuan tidak akan mendapatkan ruang yang seharusnya ia tempati, dan terus menjadi perempuan lemah dan selalu dinomer duakan. Sebagai perempuan yang memiliki paradigma berkemajuan sudah seharusnya dapat membasmi stigma masyarakat seperti diatas, lantas bagaimana kita melawan? Apa yang dapat dilakukan?

Gerakan Pembebasan Perempuan & Perjuangan Kesetaraan Gender

Dalam dunia pendidikan, perempuan harus bisa memperjuangkannya untuk mendapat hak yang seharusnya diterima. Organisasi ‘Aisyiyah adalah pelopor pendiri pendidikan Taman Kanak-Kanak pertama di Indonesia. Bentuk perjuangan pembebasan stigma perempuan berupa “sumur-dapur-kasur” sudah dilakukan oleh para tokoh-tokoh perempuan semenjak zaman-zaman dahulu. Maka dari itu, seiring berkembangnya pemahaman tentang hak-hak Perempuan, sudah sepantasnya bahwa para perempuan harus bisa menjadi pelopor dalam dunia pendidikan, begitupun dengan bidang yang lain.

Berperan dalam ranah politik, kiprah perempuan dalam Islam sudah dilakukakn sejak zaman Nabi, kebebasan perempuan untuk berpolitik pun dibenarkan dan juga dijamin oleh Allah dan Rasul. Kiprah perempuan dalam politik dizaman nabi juga tidak mengingkari fitrah dan juga tidak memunculkan motivasi persaingan dengan laki-laki. Seluruh makhluk Allah dibumi ini adalah seorang khalifah, tidak ada unsur perbedaan dalam penciptaan manusia. Poin positif juga ada dalam perempuan ketika berperan dalam ranah politik, dengan adanya perempuan diposisi politik atau kepemimpinan, maka kaan tercipta lingkungan yang inklusif dan beragam, yang dapat memperkuat hubungan antar individu dan mendorong kerjasama yang harmonis.

Kesetaraan adil gender memanglah pantas untuk diperjuangkan. Tidak ada perbedaan kualitas antara perempuan dan laki-laki yang dapat memunculkan perbedaan maupun pengurangan hak bagi setiap individu. Menjadi perempuan progresif yang berparadigma perempuan berkemajuan menjadi wajib bagi seluruh perempuan, lebih terkhusus lagi bagi para aktivis, seperti para Immawati ini. Perjuangan hak perempuan seperti yang sudah dicontohkan para tokoh-tokoh perempuan terdahulu harus kita lanjutkan, dan menjadi motivasi untuk selalu memperjuangkannya.

*HIDUP PEREMPUAN YANG MELWAN, HIDUP PEREMPUAN BERKEMAJUAN!!!*

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    1
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Artikel Terkait