Lunturnya Budaya Berbahasa Arab dan Inggris di Pondok Modern
Oleh: Muhamad hafidh as shafa (Kader 23 IMM FAI UAD)
Mahasiswa Ilmu Hadits Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan angktan 2023
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dengan sistem asrama, kyai sebagai publik figur, dan masjid sebagai tempat pusat kegiatan. Sistem pondok pesantren juga diakui oleh banyak pihak, baik dari lembaga pendidikan umum, menteri pendidikan, menteri agama, dan lain sebagainya.
Dengan mendapatkan banyak pengakuan dari berbagai lembaga di Indonesia, pondok pesantren tentu telah merancang programnya dengan matang. Mulai dari penerapan disiplin yang ketat, disiplin berpakaian, disiplin makan, dan disiplin berbahasa. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, banyak pondok pesantren modern di Indonesia yang mengalami kegelisahan dalam program-program yang telah dibangun oleh lembaga mereka. Salah satu dari program-program pondok yang mengalami kemunduran yaitu penurunan budaya dalam menggunakan bahasa resmi pondok, yaitu bahasa arab dan inggris dalam berinteraksi dengan teman, guru, dan pengurus di dalam pondok.
Dalam hal ini seharusnya para santri dari mulai dari kelas 2 MTs sampai kelas 3 aliyah ( santri lama) dapat berbicara bahasa resmi. Baik itu dalam dialog sehari hari, dalam berpidato dan juga dalam agenda kegiatan harian. Pada peraturan yang sudah tertulis dan sudah menjadi kesepakatan bersama, dan juga para santri sudah setuju pada peraturan ini. Mereka wajib untuk berbicara menggunakan bahasa resmi yaitu bahasa arab dan juga inggris di dalam pondok ataupun di dalam pondok di setiap agendanya.
Menurunnya budaya berbahasa resmi di dalam pondok ini memiliki banyak faktor, baik internal (dari dalam pondok) maupun eksternal ( dari luar pondok). Contoh dari faktor internal adalah kurangnya kesadaran dalam diri pribadi santri, dan juga kurangnya ketegasan serta uswah hasanah dari para pengurus pondok, baik dalam pengurus kamar, ataupun dari pengurus pusat. Hal ini dapat berpengaruh, karna menjadi patokan para santri, apabila mereka (para pengurus) tidak memberikan yang baik maka santri akan memandang remeh para pengurus.
Kemudian, contoh dari faktor eksternal (luar pondok), yaitu kurangnya kepercayaan penuh dari para wali santri kepada para pengurus dan pihak pondok pesantren. Kalau kita lihat dari faktor eksternal ini, hal ini sangat berpengaruh kepada para pengurus, seperti kurangnya keberanian pengurus dalam memberi peringatan kepada santri. Hal ini dikarenakan banyak santri yang melapor ke orang tua mereka ketika di tegur dengan hukuman yang sedikit keras. Setelah para santri melapor kepada wali mereka, kemudian pihak wali santri datang memprotes kepada pihak pondok dan pihak pengurus.
Faktor ini yang membuat para pengurus enggan untuk memberi hukuman berat kepada para santri . Dan jika tidak diberi hukuman berat maka para santri tidak jera atas hukuman yang diberikan. Tentunya, kepercayaan para wali santri menurun kepada pihak pondok karena banyak kabar penganiayaan dari pihak pondok kepada santri yang melanggar. Contohnya, kasus yang terjadi di pondok pesantren modern Darussalam Gontor. Pernah terjadi penganiayaan kepada santri yang melanggar sampai meninggal dunia. Tentunya kabar ini membuat khawatir para wali santri, dan juga menurunnya kepercayaan dari pihak wali santri kepada pondok.
Tentunya hal ini dapat berpengaruh terhadap lunturnya program-program pondok, salah satunya budaya berbahasa resmi, dikarenakan para santri terlalu meremehkan peraturan yang telah berlaku dan merasa memiliki pelindung yang kuat sehingga terkesan meremehkan peraturan. Dalam masalah ini, pimpinan pondok pesantren modern Darussalam Gontor K.H. Hasan Abdullah Sahal menanggapi bahwa:
“setiap santri yang kita didik harus mendapatkan kepercayaan penuh dari pihak orang tua, sehingga tidak ada diskriminasi kepada para pengurus dan juga pihak pondok. Supaya mendukung keberlangsungan peraturan peraturan, program program, dan budaya yang telah di bangun oleh para pendahulu pondok pesantren.”
Menanggapi masalah ini, pihak pondok dan para pengurus harus mengadakan pembahasan lebih lanjut untuk mengatasi masalah ini. Ada beberapa cara yang harus di lakukan seperti yang pertama memberikan hukuman yang ringan dan memiliki efek jera. Kedua, mengadakan perjanjian tertulis kepada pihak wali santri tentang hukuman yang harus diberikan apabila para santri melanggar yang ke sekian kalinya. Ketiga, mencatat hasil pelanggaran santri dan memberi batas pelanggaran. Selanjutnya apa bila sudah mencapai batas pelanggarannya (misal 3x), maka hukuman terakhir adalah diberi hukuman yang berat atau bahkan bisa sampai dikeluarkan dari pondok .
Kesimpulan dari kejadian di atas adalah bahwa banyak pondok pesantren modern di Indonesia mengalami penurunan dalam peraturan peraturan, dan juga budaya dalam menggunakan bahasa resmi seperti bahasa Arab dan Inggris. Faktor-faktor internal dan eksternal, seperti kurangnya kesadaran santri dan kurangnya kepercayaan dari wali santri kepada pengurus pondok turut berkontribusi pada masalah tersebut. Solusi yang diusulkan termasuk memberikan hukuman yang efektif dan mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak wali santri untuk mendukung keberlangsungan budaya dan peraturan di pondok pesantren.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow